27 April 2013

PENYAKIT IKAN YANG DISEBABKAN VIRUS (Viral disease)

PENYAKIT IKAN YANG DISEBABKAN VIRUS (Viral disease)

(Laporan Praktikum Parasit dan Penyakit Organisme Akuatik)



Oleh
LUQMAN HAKIM
1114111030













PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013






I.     PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi perairan budidaya yang cukup besar. Potensi ini meliputi budidaya ikan di perairan tawar, payau dan laut.Selain itu, kebutuhan konsumsi ikan global pun akan terus meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan makin sadarnya konsumen untuk mengkonsumsi ikan.

Pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan global dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah intensifikasi usaha perikanan. Akan tetapi, intensifikasi akuakultur di banyak negara ini telah mendorong kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan relatif cepat, dan penyakit adalah salah satu dari faktor penghalang untuk dapat mendukung produksi komoditas perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari organisme budidaya (Yukio, 2007).

Salah satu penyakit yang berbahaya dengan tingkat kematian tinggi dan penyebaran yang luas adalah penyakit yang disebabkan virus. Virus mampu menyerang ikan air tawar, payau, maupun ikan laut dalam berbagai stadia.  Teknologi penanggulangan infeksi virus sejauh ini masih sebatas pencegahan, yaitu dengan menjaga lingkungan agar tetap dalam kondisi yang baik serta penggunaan benih yang berkualitas.
Penanggulangan terhadap meluasnya wabah penyakit akibat virus harus dilakukan oleh tenaga yang benar-benar ahli dibidangnya, sehingga dibutuhkan sumberdaya manusisa yang paham serta terampil. Untuk mengetahui jenis virus yang menyerang ikan budidaya, kita dapat melakukan pengamatan dari gejala yang ditimbulkan secara visual, juga dapat dengan melakukan identifikasi secara laboratoris.  Filtrat bahan dari ikan sampel selanjutnya akan diujikan ke ikan percobaan, hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa dari sampel ikan yang diambil bagian-bagian organnya menunjukkan ikan tersebut benar-benar terinfeksi virus. Metode ini dinamakan postulat river.
1.2    Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat memahami dan mampu mengidentifikasi penyakit ikan yang disebabkan oleh virus, serta membuktikan bahwa filtrat yang injeksikan dari ikan sampel membawa agen virus.


II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Karakteristik Virus
Virus adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dengan ukuran tubuh antara 25-300 nanometer, sehingga hanya dapat dilihat menggunakan microskop elektron. Virus tidak mempunyai perlengkapan metabolik sendiri dan tidak mampu membangkitkan energi atau mensintesis protein, sehingga kebutuhan pakan untuk memperbanyak diri sangat bergantung pada inangnya.  Pada saat itulah virus menyebabkan kerusakan ataupun penyakit pada inangnya (Pelczar dan Chan, 1988).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1999), usaha untuk bereproduksi dimulai dengan masuknya virus ke dalam sel inang.  Pada saat itu, asam nukleat dari virus (RNA atau DNA) akan mengendalikan organ pencernaan dari sel inang untuk segera memproduksi asam nukleat  yang dibutuhkan.  Selain itu, virus juga akan memerintahkan pembentukan protein baru (capsid) yang berguna untuk membungkus asam nukleat sekaligus sebagai pembunuh organisme lain.

Menurut Pelczar dan Chain (1988), virus dapat menular ke inang lain melalui lingkungan atau media lain dalam bentuk paket-paket gen berukuran mikro.  Virus tersusun atas bahan genetis berupa DNA atau RNA saja dan bukan kedua-duanya, yang terkemas dalam selubung protein, sehingga bahan genetis tersebut terlindung ketika berada di luar inang sekaligus sebagai media untuk masuk ke dalam sel inang yang baru.

Sampai saat ini, para peneliti belum menemukan dosis yang tepat untuk menyembuhkan udang yang terserang virus.  Hal ini terjadi karena dosis yang dapat membunuh virus akan membunuh inangnya itu sendiri, sehingga penanganan terbaik adalah dengan melakukan tindakan pencegahan (preventif).


2.2    Biologi Ikan Koki (Carassius auratus)
Ikan mas koki sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia, ikan mas koki mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas koki yang terdapat di Indonesia merupakan ikan yang dibawa dari Cina. Penyebarannya merata di daratan Asia, Eropa, Amerika Utara dan Australia. Sedangkan pembudidayaan ikan mas koki di Indonesia banyak ditemui di Jawa dan Sumatra (Perkasa dan Hisomudin, 2005).

Menurut Iskandar dan Sitanggang (2003), ikan mas koki memiliki bentuk tubuh yang unik dan sisik yang sangat menarik. Ikan mas koki tergolong ke dalam jenis ikan yang mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru. Bentuk tubuh ikan mas koki agak memanjang dan pipih tegak (compressed) dan mulutnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian ujung mulut memiliki dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat gigi kerongkongan yang tersusun dari tiga baris. Gigi geraham secara umum, hampir seluruh tubuh ikan mas koki ditutupi oleh sisik yang berukuran relatif kecil.

Iskandar dan Sitanggang (2003) melanjutkan, bahwa sirip punggung (dorsal) memanjang dan bagian belakangnya berjari tulang keras. Sementara itu, sirip ketiga dan keempatnya bergerigi. Letak sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur (anal) mempunyai ciri seperti sirip punggung, yakni berjari tulang keras dan bergerigi dan seluruh bagian siripnya berbentuk rumbai-rumbai atau panjang. Garis rusuk atau gurat sisi (linnea lateralis) pada ikan mas koki tergolong lengkap, berada di pertengahan tubuh dengan posisi melentang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor .

Adapun ciri-ciri induk jantan ikan mas koki adalah pada sirip dada terdapat bintik-bintik bulat menonjol dan jika diraba terasa kasar. Warna tubuhnya cemerlang dibandingkan dengan induk betina, ukuran tubuhnya lebih ramping, gerakannya lebih lincah, dan induk jantan yang telah matang gonad bila diurut pada bagian perut sampai pada lubang urogenital akan mengeluarkan cairan berwarna putih yang disebut dengan sperma.

Pada induk betina, sirip terasa halus jika diraba. Warna tubuh agak pucat dengan gerakannya relatif lebih lambat, ukuran tubuhnya lebih besar dari induk jantan. Induk betina yang sudah matang gonad bila diurut dibagian perut sampai lubang urogenital akan mengeluarkan cairan berwarna kuning yang disebut dengan sel telur (Iskandar dan Sitanggang, 2003).

Ikan mas koki yang pelihara di kolam atau di akuarium dapat di pijahkan sepanjang tahun. Tetapi ikan mas koki di alam biasanya memijah setelah musim hujan karena banyak dataran yang terendam air dan telah kering beberapa bulan, karena tempat tersebut mengeluarkan bau ampo atau bau has dari dalam tanah sehingga merangsang induk ikan memijah di tempat itu (Perkasa dan Hisomudin, 2005).


2.3    Penyakit Ikan dan Udang yang Disebabkan Virus
2.3.1        WSSV (White Spot Syndrome Virus)
WSSV adalah virus yang menyerang sistem organ dari krustasea yang menyebabkan bercak putih pada permukaan eksternal udang hingga  menyebabkan kerugian berupa kematian yang tinggi (mortalitas) mencapai 100%.  Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat udang dapat mengalami kematian yang sangat tinggi.  WSSV merupakan virus yang disebabkan oleh virus SEMBV dan termasuk golongan virus berbahan genetik DNA (Dioxyribonucleic Acid) berbentuk batang (Bacilliform).  Awal dari terjangkitnya penyakit ini biasanya didahului oleh fitoplankton yang mati secara massal, air tambak tiba-tiba berubah warna dan kekentalan air tambak meingkat (Yanto, 2006).

Penyakit WSSV pertama kali ditemukan (diidentifikasi) di Taiwan pada tahun 1992 yang menyebabkan kematian masal pada udang windu (Penaeus monodon), udang kuruma (P. japonicus), udang ekor kuning (P. penicillatus) dan udang greasyback (Metapanaeus ensis).

Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunnya aktivitas berenang, kurangnya keseimbangan dalam berenang, dan tidak terarah.  Selain itu udang lebih sering berenang bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan.  Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5-3.0 mm tetapi pada induk udang warnanya menjadi merah (Mahardika et al., 2004 dalam Yanto, 2006), dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak yaitu segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir lalu menyebar ke seluruh kutikula tubuhnya (Wang et al., 1997a dalam Yanto, 2006).

Gejala lain yang terlihat pada udang yang terserang WSSV adalah usus udang terlihat berisi kotoran yang terputus-putus, jumlah udang yang mati meningkat dari hari ke hari, 5-10% tubuh udang berwarna kusam, kemerahan dengan antena patah, usus kosong dan seringkali permukaan tubuh ditempeli parasit (Zoothamnium sp : Vorticella sp, Ligmophora sp, dll).  Apabila sudah parah bercak putih tersebut menyebar sampai keseluruh permukaan tubuh.  Kematian secara massal akan terjadi pada hari ke 3-5 dan mencapai 100% dalam waktu satu minggu.

Bila udang yang terserang WSSV tetapi belum terdapat tanda bintik putih, dikategorikan pada kronis, dimana infeksi yang dialami oleh jaringan rendah sehingga bintik putih dan kemerahan pada udang tidak tampak. Organ-organ target yang diserang udang fase kronis akan terjadi lebih lama yaitu 15-28 hari yang dapat dijadikan sebagai indikator serangan yaitu sel-sel insang, hepatopankreas dan usus.  Sel-sel hepatopankreas, usus dan insang yang terserang penyakit WSSV mengalami kerusakan yang ditandai dengan hipertopi inti (eosinofilik hipertropi) dan inclusion bodies sel.  Sedangkan organ lain yang diserang adalah lambung, sel epitel, subkutikula, organ lymphoid, antennal gland dan hemocyte (Anonim, 2009).

Virus ini mudah sekali menyebar baik secara vertikal maupun horizontal, artinya virus ini dapat menular melalui induk ke anak maupun kontak langsung dengan udang sakit, air maupun peralatan bekas pakai.   
Penularan juga dapat melalui hewan pembawa (carrier) seperti : kepiting, rajungan, rebon, jambret, wideng dan udang-udang liar lainnya yang masuk dalam sistem tambak selama ganti air.  Virus ini mudah sekali menyebar ke udang lain melalui proses saling makan (kanibalisme). Udang yang sakit akan dimakan oleh udang yang sehat, sehingga udang yang sehat akan tertular.  WSSV juga dapat menular dari satu tambak ke tambak lain melalui burung.  Udang yang sakit berenang di permukaan lalu dimakan oleh burung, dan sisanya jatuh ke tambak lain (Yanto, 2006).

2.3.2        IMNV (Infectious Myonecrosys Virus)
Myo (Infectious myonecrosis virus) yang termasuk kelas picornavirus pertama kali menyerang udang di Brasil pada 2003.  Di Indonesia, myo muncul pertama kali di Situbondo yaitu pada tahun 2006. Setelah itu, myo mewabah di pertambakan Banyuwangi, Lampung, kemudian menyebar ke Bengkulu, Sumatra Utara, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara.  Saat ini, myo hampir menyebar luas ke 2/3 wilayah Indonesia (Anonim, 2009). 
Penyakit ini awalnya ditemukan pada udang yang berumur dua bulan. Myo juga menyerang udang muda umur 30 hari setelah penebaran.  Udang yang terkena virus ini memiliki gejala klinis yaitu munculnya warna plaque atau putih kapas pada bagian otot yang terlihat dari samping maupun atas.  Semakin hari semakin jelas, yang selanjutnya terdapat warna kemerahan pada bagian abdomen ruas kelima dan keenam, disertai kematian udang secara bertahap (Yanto, 2006).

Menurut Yanto (2006), beberapa sebab yang diduga sebagai pemicu munculnya kasus Myo antara lain menurunnya kualitas air dari kondisi optimum, tingginya kandungan plankton dan senyawa beracun.  Selain itu juga disebabkan oleh plankton yang terlalu pekat serta flok yang berlebih (blooming).
 

2.3.3        TSV (Taura Syndrome Virus)
TSV merupakan virus yang menyerang atau menginfeksi udang vannamei (Litopenaeus vannamei)  dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah diintroduksi di Indonesia.  Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40 hari setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai 95%.  Awalnya, penyakit TSV dikenal sebagai penyakit udang juwana ukuran 0,05-5 g/ekor pada udang vanname (Widayanti, 2005).

Widayanti (2005) menambahkan, apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk atau genetik (vertikal), jika lebih dari 60 hari berarti infeksi berasal dari kondisi lingkungan (horizontal). Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat mortalitasnya relatif rendah.  Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis.  Pada fase akut inilah udang akan mengalami kematian massal.  Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis.

Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.  Pada infeksi berat (acute) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematian didominasi oleh udang yang sedang atau baru selesai proses pergantian kulit (moulting), saluran pencernaan kosong dan warna tubuh kemerahan. Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson) (Widayanti, 2005).

Sedangkan, udang yang selamat dari fase akut, umumnya akan mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula.  Langkah utama pengendalian penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke dalam sistem budidaya.  Masuknya patogen ini dapat berasal dari induk, benur, air, carrier, pakan, pelaku budidaya dan seluruh komponen produksi udang (Widayanti, 2005).

Surfianti dkk (2010) menyebutkan, media pembawa TSV (carrier dan vector) yaitu udang vaname yang mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV harus dimusnahkan.  Peralatan dan personal yang dapat membawa dan menyebarkan TSV harus dilakukan desinfeksi.  Tindakan yang lebih tepat lagi yaitu dengan menerapkan biosecurity, sehingga kemungkinan besar udang terinfeksi virus akan berkurang bahkan tiada sama sekali.

2.3.4        VNN (Viral nervous necrosis)
Viral Nervous Necrosis (VNN), adalah jenis virus Nodaviridae yang menyerang ikan kerapu, terutama pada stadia larva dan benih. VNN dapat menyebabkan kematian massal hingga mencapai prevelensi 100% (Johnny et al., 2010; Suratmi dan Ni Luh, 2008).

Viral Nerveus Necrosis (VNN) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama didalam produksi perikanan laut didunia. Identifikasi virus penyebab VNN ini adalah anggota family Nodaviridae diperoleh dengan menyelidiki asam nukleat dan protein struktural dari larva virus Pseudocaranx dentex.

Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan. Betanodaviruses (family Nodarideae) adalah agen penyebab serangan viral nerveus necrosis (VNN) pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genome yang terdiri atas dua ikatan tunggal. Nodaviruses adalah virus icosahedral yang tidak dibungkus dengan suatu genome terdiri dari 2 RNAs13 ikatan tunggal. Piscine nodaviruses (betanodaviruses) telah menunjukkan infeksi pada lebih dari 30 jenis ikan laut terutama pada masa larva dan juvennil, dan infeksi yang umumnya mengakibatkan mortalitas yang tinggi (Yukio, 2007).

Serangan VNN antar populasi pada budidaya ikan laut dapat terjadi dengan transmisi secara vertikal atau secara horisontal. Di Korea, gejala serangan VNN pertama kali dilaporkan menyerang budidaya ikan grouper (kerapu) (Epinephelus septemfasciatus). Kematian massal pada ikan red drum (Sciaenops ocellatus) yang dipelihara dip anti pembenihan berhubungan dengan betanodavirus (Chi, 2006).

Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut diatas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang. Kematian (mortalitas) kumulatif mencapai 34% dan 56% selama 10 minggu. Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vacuolisasi (kerusakan) kuat sistem nerves pusat dan retina (R. Thie´ry,1, et all, 2006 dalam Bimami, 2009).

Tanda klinis ikan yang terserang VNN adalah hilangnya selera makan, kelesuan, perilaku renang abnormal (gerakan memutar dan menabrak kasar), pembesaran gelembung renang pada beberapa jenis ikan, dan pewarnaan gelap (Bimami, 2009).


2.3.5        KHV (Koi herpes virus)
Koi herpesvirus (KHV) adalah virus yang menginfeksi ikan mas dan koi dan bersosiasi dengan kematian massal (Hedrick et al. 2000). Virus ini pertama kali teridentifikasi pada tahun 1998 sebagai penyebab kematian massal ikan koi baik stadia juvenil maupun dewasa yang dibudidayakan di Israel, Amerika Serikat dan Jerman (Hedrick et al. 1999; Bretzinger et al.1999). Penyebaran virus ini sudah mencapai Eropa, Jepang, Indonesia, Afrika Selatan, Thailand, Taiwan, Cina dan Malaysia (Haenen et al. 2004). Virus KHV masuk ke Indonesia pada tahun 2002 melalui perdagangan ikan lintas negara (Sunarto et al. 2005).

Penyakit akibat virus yang sangat menular ini telah menyebabkan kerugian finansial pada industri budidaya ikan mas dan koi (Hedrick 1996; Haenen et al. 2004). Sejak terjangkit pertama kali di Blitar, Jawa Timur, penyakit ini telah menyebar ke hampir semua daerah di Indonesia. Virus ini mengakibatkan kematian massal, yaitu kematian mencapai 80-95 % populasi sehingga berdampak pada kerugian ekonomi dan sosial. Kerugian secara materi akibat penyakit ini mencapai 15 milyar rupiah dalam tiga bulan pertama sejak kejadian penyakit ditemukan, yaitu bulan Maret sampai September 2002 (Sunarto, 2005).
Sepanjang tahun 2002 kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit akibat KHV ini mencapai 100 milyar rupiah (Sunarto & Kusrini 2006). Kerugian total sampai tahun 2006 mencapai 250 milyar rupiah. Namun jumlah ini merupakan perhitungan berdasarkan kasus yang berhasil diketahui maupun dari laporan masyarakat. Sejak saat itu muncul siklus wabah KHV tahunan terutama terjadi setiap musim hujan.

Pada bulan September 2004 terjadi wabah di Lubuk Linggau, Sumatra Selatan dan mengakibatkan kematian sebanyak 150 ton, disusul kematian massal ikan yang dipelihara di jaring apung di Danau Toba. Pada akhir Oktober 2004, penyakit ini mengakibatkan kematian sedikitnya sembilan juta ekor ikan mas dalam 2.216 petak karamba jaring apung di Sumatra Utara.

Kematian massal ikan mas di Danau/Waduk Cirata berulang pada tahun 2004 setelah sebelumnya pernah terjadi pada bulan Mei-juni tahun 2002. Kematian massal ikan mas dan koi masih terjadi sampai saat ini terutama pada musim hujan, meskipun kematian yang ditimbulkan tidak ekstrim seperti tahun-tahun sebelumnya (Sunarto & Kusrini 2006).

Untuk daerah endemik seperti Cirata maka kematian massal terjadi sekitar 40-60% dan biasanya terjadi pada pertengahan dan akhir tahun. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan di kolam air deras lebih tinggi yaitu mencapai 70% dan terjadi sepanjang musim, sedangkan di daerah yang jarang ada kasus atau baru pertama terjadi kasus maka kematian bisa lebih tinggi dari 60%. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan di keramba di Sungai Mahakam mencapai 70-80% (Sunarto et all. 2005). Meskipun muncul pertama kali pada tahun 2002, namun belum ada langkah strategis yang dapat menanggulangi wabah penyakit ini.

2.3.6        Iridovirus
Iridovirus adalah virus hewan yang menginfeksi invertebrata dan vertebrata poikilotermik, seperti ikan, insekta, amfibi, dan reptil (Williams, 1996). Iridovirus merupakan virus DNA untai ganda berbentuk simetri ikosahedral, tidak semuanya beramplop, dan mempunyai diameter 120-300 (Tidona et al., 1998). Virion iridovirus terdiri dari tiga domain konsentris yaitu protein capsid di bagian luar, membran lipid yang mengandung subunit protein di bagian tengah, dan core yang tersusun dari kompleks DNA-protein. Virus ini memiliki 25-75 protein struktural dengan kisaran berat molekul 12.000-150.000 kDa. Secara umum protein capsid iridovirus berukuran sekitar 50 kDa dan merupakan komponen struktural utama yang jumlahnya mencapai 45% dari protein virion total. Ukuran genom iridovirus bervariasi antara 105-212 kbp).

Iridovirus mempunyai strategi replikasi yang melibatkan stadium nuklear dan sitoplasmik, menghasilkan genom komplit dengan duplikasi beberapa gen di ujungnya (terminal redundancy) dan ujung tersebut berbeda diantara partikel virus yang dihasilkan (cyclic permutation). Gen penyandi protein capsid dari beberapa iridovirus vertebrata dan invertebrata telah disekuensing dan coding region nya mempunyai banyak kemiripan.

Ikan yang terinfeksi iridovirus nampak lemah, nafsu makan menurun, mengalami anemia yang berat, bercak merah (ptechiae) pada insang, pembengkakan limpa, dan ginjal. Menurut Tidona et al. (1998), kerapu malabar yang terinfeksi iridovirus menunjukkan gejala warna insang dan tubuh pucat, hilangnya keseimbangan sehingga ikan diam di dasar jaring apung dan biasanya akan mati dalam waktu satu hari setelah gejala muncul.
2.4    Postulat River
Postulat River merupakan suatu diagnose yang digunakan untuk mengetahui  virus yang menyerang suatu organisme. Postulat ini pertama kali ditemukan oleh River. Penemuan postulat River diawali adanya penemuan filtrat bebas bakteri oleh Iwanowsky. Iwanowsky menemukan bahwa filtrat bebas bakteri (cairan yang telah disaring dengan saringan bakteri) dari ekstrak tanaman tembakau yang terkena penyakit mozaik, ternyata masih tetap dapat menimbulkan infeksi pada tanaman tembakau yang sehat. Dari kenyataan ini kemudian diketahui adanya jasad hidup yang mempunyai ukuran jauh lebih kecil dari bakteri (submikroskopik) karena dapat melalui saringan bakteri, yaitu dikenal sebagai virus (Anonim, 2011). 
Dalam Postulat River berbunyi bahwa agen virus harus ditemukan dalam cairan tubuh sewaktu sakit atau dari sel yang menunjukkan lesio spesifik, diperoleh dari hewan terinfeksi dapat menginfeksi hewan percobaan dalam bentuk antibodi terhadap virus tertentu, dan yang diisolasi dari hewan percobaan harus dapat ditularkan ke hewan peka lainnya (Anonim, 2011).
Untuk membuktikan penyakit yang disebabkan oleh virus, dapat digunakan postulat River (1937), yaitu: 
a.    Virus harus berada di dalam sel inang. 
b. Filtrat bahan yang terinfeksi tidak mengandung bakteri atau mikroba lain yang dapat ditumbuhkan di dalam      media buatan. 
c.    Filtrat dapat menimbulkan penyakit pada jasad yang peka
d.   Filtrat yang sama yang berasal dari hospes peka tersebut harus dapat menimbulkan kembali penyakit yang sama.

III.   METODOLOGI
3.1    Waktu dan Tempat
Praktikum penyakit ikan yang disebabkan oleh virus dilaksanakan pada hari Kamis 11 April 2013 pukul 13.00 WIB s/d selesai di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2    Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk praktikum ini, yaitu akuarium, alat bedah, mortar, filter miliphore 0,45 µm, larutan PBS, mikropipet, alat centrifuge, tabung falcon, timbangan, spuit, ikan koki, tip, dan tabung ependorf.

3.3    Cara Kerja
Pada praktikum ini menggunakan metode Postulat River. Prosedur kerja praktikum ini adalah sebagai berikut:
a.    Siapkan sampel ikan / udang yang sakit.
b.    Catat gejala klinis baik eksternal maupun internal.
c.    Sampel dihomogenasi dengan mortar dengan ditambah larutan buffer (PBS) 1:2 (m/v).
d.  Homogenat dimasukkan ke dalam tabung falcon 15 ml dan disentrifus pada kecepatan 3500 rpm selama 20 menit.
e.    Supernatan diambil dan difilter dengan filter milipore 0,2 um.
f.     Filtrat disuntikkan secara intramuscular (i.m) kepada ikan sehat (0,1 ml/ikan).
g.    Ikan dipelihara selama maksimal satu minggu.
h.    Setiap hari ikan diamati gejala klinis yang muncul dan jumlah kematian jika ada.
i.      Bandingkan gejala klinis ikan sampel dengan ikan yang diinfeksi, tulis persamaan dan perbedaannya.


IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Untuk melihat apakah filtrat yang telah diinjeksikan pada ikan merupakan virus penyebab penyakit (pathogen), maka dilakukan pengamatan terhadap ikan percobaan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 1. Gejala yang Ditimbulkan Setelah Diinjeksi dengan Bakteri

Hari ke-
Pukul (WIB)
Gejala
1
17.00
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan berenang dengan aktif
09.00
Ikan memiliki nafsu makan
13.00
Ikan mengeluarkan feses dan ikan berenang didasar
2
17.00
Ikan berenang aktif dan memiliki nafsu makan
09.00
Ikan mengeluarkan feses dan memiliki nafsu makan
13.00
Nafsu makan berkurang, ikan mengeluarkan feses dan dua ekor ikan berenang didasar
3
17.00
Ikan berenang dengan aktif dan nafsu makan berkurang
09.00
Ikan merespon kejutan dan memiliki nafsu makan
13.00
Satu ekor ikan aktif berenang dan empat ekor lainnya berenang didasar
4
17.00
Ikan mengeluarkan feses dan memiliki nafsu makan
09.00
Ikan memiliki nafsu makan dan berenang dengan aktif
13.00
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan saling bekejar-kejaran
5
17.00
Ikan berenang dengan aktif dan memiliki nafsu makan
09.00
Nafsu makan ikan meningkat dan ikan berenang aktif
13.00
Dua ekor ikan berenang ke arah aerator, tiga ekor lainnya berenang di dasar
6
17.00
Ikan mengeluarkan feses dan tiga ekor ikan berenang di dasar
09.00
Ikan mengeluarkan feses dan nafsu makan berkurang
13.00
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan berenang denga aktif
7
17.00
Semua ikan berenang aktif
09.00
Ikan meiliki nafsu makan dan berenang dengan aktif
13.00
Ikan berenang dengan aktif dan beberapa mengeluarkan feses 


4.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan terhadap ikan yang diujikan, ikan terbukti tidak mengalami sakit akibat infeksi virus.
Hasilnya, pendarahan pada ikan hilang dan gerakan ikan semakin aktif. Dari lima ekor ikan yang ditreatmen, satu diantaranya mati akibat lemah oleh perlakuan yang ekstrim.  Diduga, ikan sampel yang sakit akibat infeksi pathogen lain, dan ikan uji sakit akibat infeksi oleh cara penyuntikan ikan yang salah, sehingga menimbulkan infeksi yang memudahkan bakteri serta parasit lain menyerang ikan.
Prosedur praktikum telah disesuaikan dengan metode uji postulat river, namun pada pelaksanaannya terjadi beberapa hal yang diduga menyebabkan kegagalan. Kegagalan terbesar memang disebabkan oleh kesalahan manusia. Selain itu, ada kendala lain ketika menyaring filtrat dan filtrat lama untuk keluar, sehingga dilakukan pendorongan dengan memanfaatkan udara dari spuit. Akan tetapi, alternatif ini jelas tidak dibenarkan, karena dikhawatirkan akan meloloskan organisme lain selain virus, seperti bakteri misalnya.

Ikan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan koki yang diduga sakit akibat infeksi virus.  Ikan koki yang dipilih memiliki gejala klinis seperti berenang terbalik, lemah dan nafsu makan yang menurun. Namun pada tubuh ikan koki tidak dijumpai adanya pendarahan atau pun pembengkakan, dan tidak menutup kemungkinan terjadi pendarahan pada organ-organ dalamnya.
Ikan koki termasuk dalam keluarga ciprinidae, dimana ikan jenis ini rentan sekali terserang penyakit.  Adapun penyakit akibat virus yang sering menyerang ikan jenis ini aalah koi herpes virus (KHV).  Virus jenis ini pertama kali diketahui menyerang ikan mas, namun seiring menurunnya kualitas lingkungan, virus ini menyebar ke ikan-ikan lain termasuk ikan koki.
Untuk memastikan bahwa ikan koki tersebut benar-benar terserang virus, maka dilakukan uji, dengan mengambil beberapa organ pada ikan koki, lalu diambil filtratnya.  Filtrat diperoeh dari hasil organ yang dihaluskan dan disentrifuse, cairan yang berada di bagian atas merupakan filtrat dan yang mengendap merupakan pellet. Setelah itu filtrat disaring menggunakan saringan miliphore ukuran 0,45 µm.  Hal ini bertujuan untuk mendapatkan virus, karena virus berukuran kecil, lebih kecil dari bakteri yang ukurannya lebih dari 0,45 µm, sehingga bakteri tidak mungkin untuk dapat lolos.
Adapun organ-organ yang diambil dari ikan sampel adalah mata, ginjal, dan daging. Beberapa organ yang diambil merupakan organ target serangan virus.
Adapun gejala yang timbul setelah dilakukan penyuntikan adalah ikan menjadi lemah, terjadi pendarahan pada bagian dorsal, abdomen/perut, operculum dan sirip. Namun pada insangnya terlihat masih normal, padahal apabila ikan terserang KHV, pada insangnya biasanya terdapat borok.  Setelah masa pengujian selesai, ikan kami coba treatmen dengan panambahan garam serta perendaman dengan methlyne blue.  



V.      PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan dan pembahasan melalui studi literatur, maka dapat di simpulkan bahwa :
a.    Gejala yang ditimbulkan pada ikan uji tidak menunjukkan ikan sakit akibat virus, melankan akibat infeksi organisme pathogen lain
b.    Infeksi mikroorganisme lain diduga diakibatkan cara penyuntikan yang salah dan masuknya organisme pathogen lain ke dalam filtrat.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan setelah pelaksanaan praktikum adalah sebagai berikut :
a.   Untuk menghindari kegagalan akibat masuknya organisme lain, diperlukan kesabaran ketika menunggu keluarnya filtrat dari saringan
b. Cara penyuntikan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak terjadi keslahan dalam mengidentifikasi akibat infeksi oleh mikroorganisme lain.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Anonim, 2009.  Diagnosis Penyakit Viral.  Universitas Gajah Mada.  Yogyakarta.
Anonim. 2011. Postulat River. http://zaedkfc.blogspot.com/2011/11/postulat-river.html. diakses pada tanggal 24 April 2013 pukul 20.06 WIB.
Bimami, Elfahry. 2009. Viral Necrosis Nerveus (VNN) Penyebab Kematian Massal  Benih Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). http://elfahrybima.blogspot.com/2009/01/viral-necrosis-nerveus-vnn.html. diakses pada tanggal 19 April 2013 pukul 09.26 WIB.
Bretzinger, A., Fischer-Scherl, T., Oumouna, M., Hoffmann, R., Truyen, U., 1999. Mass mortalities in koi carp, Cyprinus carpio, associated with gill and skin disease. Bull. Eur. Assoc. Fish. Pathol. 19, 182-185.
Chi, S.C, 2006, Piscine Nodavirus Infection in Asia. Department of Life Science and Institute of Zoology. National Taiwan University.
Haenen OLM, Way K, Bergmann SM, Ariel E. 2004. The emergence of koi herpesvirus and its significance to European aquaculture. Bull. Eur. Ass. Fish Pathol., 24(6): 293-307.
Hedrick RP, Gilad O, Yun S, Spangenberg JV, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus MJ, Bercovier H, Eldar A. 2000. A herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of common carp. Journal of Aquatic Animal Health, 12:44-57.
Hedrick RP, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus M, Bercovier H, Eldar A. 1999. A herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, Cyprinus carpio. Fish Health Newsletter. Fish Health Section. American Fisheries Society 27:7.
Iskandar dan M. Stitanggang. 2003. Memilih dan Merawat Maskoki Impor Berkualitas. Agromedia. Jakarta.
Johny, Fris et al,. 2010. Aplikasi Imunostimulan Untuk Meningkatkan Imunitas non-Spesifik Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Penyakit Infeksi Di Hatcheri. Prosiding Forum Inovasi Teknologi. Balai riset Perikanan Budidaya Laut Gondol.
Nuryati, S., Alimuddin, Sukenda, Soejoedono, R.A., Santika, A., Pasaribu, F.H.., Sumantadinata, K., 2010. Con-struction of a DNA vaccine using glycoprotein gene and its expression towards increasing survival rate of KHV-infected common carp (Cyprinus carpio). Jurnal Natur Riau 13 (1), 47–52.
Pelczar, M,j. dan E,C,S, Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi II. Alih bahasa: R,S, Hadioetomo, T, Imas, S.S, Tjitrosomo dan S. L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Perkasa, B. Eka dan Hisomudin. 2005. Permasaalahan Maskoki dan Solusinya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunarto, A., Kusrini, E., 2006. Kasus kematian massal ikan mas di keramba jarring apung danau Toba, Sumatra Utara. Media Akuakultur 1 (1).
Sunarto, A., Rukyani, A., Itami, I., 2005. Indonesian experience on the outbreak of koi herpesvirus in koi and carp (Cyprinus carpio). Bulletin of Fisheries Research Agency, Yokohama, Japan. 86:15-21.
Suratmi, Sri Dan Ni Luh Tati Aryani. 2008. Kasus Infeksi Penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) Pada Ikan Kerapu Di Pulau Bali. Buletin Teknik Literatur Akuakultur. Vol.7. (1).
Surfianti, N.C. Prihartini, M. Fathoni, E.R. Ekoputn, Laminem, R.Wilis, E. Pujiastuti , Sokhib dan A.D. Koswara. 2010. Deteksi Penyakit TSV (Taura Syndrome Virus) secara PCR pada Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Berbagai Ekstraksi, Suhu dan Waktu Penyimpanan. Balai Karantina Ikan Kelas I Juanda. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Surabaya.
Tidona, C. A., Schnitzler, P., Kehm, R. & Darai, G. 1998. Is the major capsid protein of iridoviruses a suitable target for the study of viral evolution? Virus Genes 16, 59-66.
Widayanti. 2005. Deteksi Penyakit Taura Syndrome Virus Pada Udang Putih (Penaeus vannamei) dengan Metode Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. Perikanan. Vol. VII/I, pp. 40- 46.
Williams, T. 1996. The Iridoviruses.  Advances in Virus Research 46, 345–412.
Yanto, Hendri. 2006.  Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang Asal Tambak Udang Intensif dan Panti Benih di Kalimantan Barat.  Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhamaddiyah Pontianak.  Kalimantan Barat.
Yukio, M., Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).