PENYAKIT IKAN YANG DISEBABKAN VIRUS (Viral disease)
(Laporan Praktikum
Parasit dan Penyakit Organisme Akuatik)
Oleh
LUQMAN HAKIM
1114111030
1114111030
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
memiliki potensi perairan budidaya yang cukup besar. Potensi ini meliputi
budidaya ikan di perairan tawar, payau dan laut.Selain itu, kebutuhan konsumsi
ikan global pun akan terus meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk dan makin sadarnya konsumen untuk mengkonsumsi ikan.
Pemenuhan kebutuhan
konsumsi ikan global dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah
intensifikasi usaha perikanan. Akan tetapi, intensifikasi akuakultur di
banyak negara ini telah mendorong kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan
relatif cepat, dan penyakit adalah salah satu dari faktor penghalang untuk
dapat mendukung produksi komoditas perikanan, terutama selama tahap
pemeliharaan larva dan benih dari organisme budidaya (Yukio, 2007).
Salah satu penyakit yang berbahaya
dengan tingkat kematian tinggi dan penyebaran yang luas adalah penyakit yang
disebabkan virus. Virus mampu menyerang ikan air tawar, payau, maupun ikan laut dalam berbagai
stadia. Teknologi penanggulangan infeksi virus sejauh
ini masih sebatas pencegahan, yaitu dengan menjaga lingkungan agar tetap dalam
kondisi yang baik serta penggunaan benih yang berkualitas.
Penanggulangan terhadap meluasnya wabah penyakit akibat virus harus dilakukan oleh tenaga yang benar-benar ahli dibidangnya, sehingga dibutuhkan sumberdaya manusisa yang paham serta terampil. Untuk mengetahui jenis virus yang menyerang ikan budidaya, kita dapat melakukan pengamatan dari gejala yang ditimbulkan secara visual, juga dapat dengan melakukan identifikasi secara laboratoris. Filtrat bahan dari ikan sampel selanjutnya akan diujikan ke ikan percobaan, hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa dari sampel ikan yang diambil bagian-bagian organnya menunjukkan ikan tersebut benar-benar terinfeksi virus. Metode ini dinamakan postulat river.
Penanggulangan terhadap meluasnya wabah penyakit akibat virus harus dilakukan oleh tenaga yang benar-benar ahli dibidangnya, sehingga dibutuhkan sumberdaya manusisa yang paham serta terampil. Untuk mengetahui jenis virus yang menyerang ikan budidaya, kita dapat melakukan pengamatan dari gejala yang ditimbulkan secara visual, juga dapat dengan melakukan identifikasi secara laboratoris. Filtrat bahan dari ikan sampel selanjutnya akan diujikan ke ikan percobaan, hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa dari sampel ikan yang diambil bagian-bagian organnya menunjukkan ikan tersebut benar-benar terinfeksi virus. Metode ini dinamakan postulat river.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan
dilaksanakannya praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat memahami dan mampu
mengidentifikasi penyakit ikan yang disebabkan oleh virus, serta membuktikan
bahwa filtrat yang injeksikan dari ikan sampel membawa agen virus.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik
Virus
Virus adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
penyakit dengan ukuran tubuh antara 25-300 nanometer, sehingga hanya dapat
dilihat menggunakan microskop elektron. Virus tidak mempunyai perlengkapan
metabolik sendiri dan tidak mampu membangkitkan energi atau mensintesis
protein, sehingga kebutuhan pakan untuk memperbanyak diri sangat bergantung pada inangnya. Pada saat itulah virus menyebabkan kerusakan
ataupun penyakit pada inangnya (Pelczar dan Chan, 1988).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1999), usaha untuk
bereproduksi dimulai dengan masuknya virus ke dalam sel inang. Pada saat itu, asam nukleat dari virus (RNA
atau DNA) akan mengendalikan organ pencernaan dari sel inang untuk segera
memproduksi asam nukleat yang
dibutuhkan. Selain itu, virus juga akan
memerintahkan pembentukan protein baru (capsid)
yang berguna untuk membungkus asam nukleat sekaligus sebagai pembunuh organisme
lain.
Menurut Pelczar dan Chain (1988), virus dapat menular ke inang lain
melalui lingkungan atau media lain dalam bentuk paket-paket gen berukuran
mikro. Virus tersusun atas bahan genetis
berupa DNA atau RNA saja dan bukan kedua-duanya, yang terkemas dalam selubung
protein, sehingga bahan genetis tersebut terlindung ketika berada di luar inang
sekaligus sebagai media untuk masuk ke dalam sel inang yang baru.
Sampai saat ini, para peneliti belum menemukan
dosis yang tepat untuk menyembuhkan udang yang terserang virus. Hal ini terjadi karena dosis yang dapat
membunuh virus akan membunuh inangnya itu sendiri, sehingga penanganan
terbaik adalah dengan melakukan tindakan pencegahan (preventif).
2.2 Biologi Ikan Koki (Carassius auratus)
Ikan mas koki sudah
dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia, ikan mas koki
mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas koki yang terdapat di
Indonesia merupakan ikan yang dibawa dari Cina. Penyebarannya merata di daratan
Asia, Eropa, Amerika Utara dan Australia. Sedangkan pembudidayaan ikan mas koki
di Indonesia banyak ditemui di Jawa dan Sumatra (Perkasa dan Hisomudin, 2005).
Menurut Iskandar dan Sitanggang (2003), ikan mas koki memiliki bentuk tubuh yang unik dan sisik yang sangat
menarik. Ikan mas koki tergolong ke dalam jenis ikan yang mudah menyesuaikan
diri terhadap lingkungan yang
baru. Bentuk tubuh ikan mas koki agak memanjang dan pipih tegak (compressed)
dan mulutnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil).
Bagian ujung mulut memiliki dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat
gigi kerongkongan yang tersusun dari tiga baris. Gigi geraham secara umum,
hampir seluruh tubuh ikan mas koki ditutupi oleh sisik yang berukuran relatif
kecil.
Iskandar dan Sitanggang (2003) melanjutkan, bahwa sirip punggung (dorsal)
memanjang dan bagian belakangnya berjari tulang keras. Sementara itu, sirip ketiga dan
keempatnya bergerigi. Letak sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip
perut (ventral). Sirip dubur (anal) mempunyai ciri seperti sirip
punggung, yakni berjari tulang keras dan bergerigi dan seluruh bagian siripnya
berbentuk rumbai-rumbai atau panjang. Garis rusuk atau gurat sisi (linnea
lateralis) pada ikan mas koki tergolong lengkap, berada di pertengahan tubuh dengan posisi
melentang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor .
Adapun ciri-ciri induk jantan
ikan mas koki adalah pada sirip dada terdapat bintik-bintik bulat menonjol dan
jika diraba terasa kasar. Warna tubuhnya cemerlang dibandingkan dengan induk
betina, ukuran tubuhnya lebih ramping, gerakannya lebih lincah, dan induk
jantan yang telah matang gonad bila diurut pada bagian perut sampai pada lubang
urogenital akan mengeluarkan cairan berwarna putih yang disebut dengan
sperma.
Pada induk betina, sirip terasa
halus jika diraba. Warna tubuh agak pucat dengan gerakannya relatif lebih lambat, ukuran tubuhnya lebih besar dari induk
jantan. Induk betina yang sudah matang gonad bila diurut dibagian perut sampai
lubang urogenital akan mengeluarkan cairan berwarna kuning yang disebut
dengan sel telur (Iskandar dan Sitanggang, 2003).
Ikan mas koki yang pelihara di
kolam atau di akuarium dapat di pijahkan sepanjang tahun. Tetapi ikan mas koki
di alam biasanya memijah setelah musim hujan karena banyak dataran yang
terendam air dan telah kering beberapa bulan, karena tempat tersebut
mengeluarkan bau ampo atau bau has dari dalam tanah sehingga merangsang induk
ikan memijah di tempat itu (Perkasa dan Hisomudin, 2005).
2.3
Penyakit
Ikan dan Udang yang Disebabkan Virus
2.3.1
WSSV (White Spot Syndrome Virus)
WSSV adalah virus yang menyerang sistem organ dari krustasea yang
menyebabkan bercak putih pada permukaan eksternal udang hingga menyebabkan kerugian berupa kematian yang
tinggi (mortalitas) mencapai
100%. Udang yang terserang
penyakit ini dalam waktu singkat udang dapat mengalami kematian yang sangat
tinggi. WSSV merupakan virus yang
disebabkan oleh virus SEMBV dan termasuk golongan virus berbahan genetik DNA (Dioxyribonucleic Acid) berbentuk batang
(Bacilliform). Awal dari
terjangkitnya penyakit ini biasanya didahului oleh fitoplankton yang mati
secara massal, air tambak tiba-tiba berubah warna dan kekentalan air tambak
meingkat (Yanto, 2006).
Penyakit
WSSV pertama kali ditemukan (diidentifikasi) di Taiwan pada tahun 1992 yang
menyebabkan kematian masal pada udang windu (Penaeus
monodon), udang kuruma (P.
japonicus), udang ekor kuning (P.
penicillatus) dan udang greasyback
(Metapanaeus ensis).
Udang yang
terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunnya
aktivitas berenang, kurangnya keseimbangan dalam berenang, dan tidak
terarah. Selain itu udang lebih sering
berenang bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih
pada karapas dengan diameter 0.5-3.0 mm tetapi pada induk udang warnanya
menjadi merah (Mahardika et al., 2004 dalam Yanto, 2006), dan bercak putih ini
pertama kali muncul pada cephalothorak
yaitu segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir lalu menyebar ke seluruh
kutikula tubuhnya (Wang et al., 1997a dalam Yanto, 2006).
Gejala lain yang terlihat pada udang yang
terserang WSSV adalah usus udang terlihat berisi
kotoran yang terputus-putus, jumlah udang yang mati meningkat dari hari ke
hari, 5-10% tubuh udang berwarna kusam, kemerahan dengan antena patah, usus
kosong dan seringkali permukaan tubuh ditempeli parasit (Zoothamnium sp : Vorticella sp, Ligmophora sp, dll). Apabila sudah parah bercak putih tersebut
menyebar sampai keseluruh permukaan tubuh.
Kematian secara massal akan terjadi pada hari ke 3-5 dan mencapai 100%
dalam waktu satu minggu.
Bila udang
yang terserang WSSV tetapi belum terdapat tanda bintik putih, dikategorikan
pada kronis, dimana infeksi yang dialami oleh jaringan rendah sehingga bintik
putih dan kemerahan pada udang tidak tampak. Organ-organ target yang diserang udang
fase kronis akan terjadi lebih lama yaitu 15-28 hari yang dapat dijadikan
sebagai indikator serangan yaitu sel-sel insang, hepatopankreas dan usus. Sel-sel hepatopankreas, usus dan insang yang
terserang penyakit WSSV mengalami kerusakan yang ditandai dengan hipertopi inti
(eosinofilik hipertropi) dan inclusion bodies sel. Sedangkan organ lain yang diserang adalah
lambung, sel epitel, subkutikula, organ lymphoid, antennal gland dan hemocyte (Anonim, 2009).
Virus ini mudah sekali menyebar baik secara vertikal
maupun horizontal, artinya virus ini dapat menular melalui induk ke anak maupun
kontak langsung dengan udang sakit, air maupun peralatan bekas pakai.
Penularan juga dapat melalui hewan pembawa (carrier) seperti : kepiting, rajungan,
rebon, jambret, wideng dan udang-udang liar lainnya yang masuk dalam sistem
tambak selama ganti air. Virus ini mudah
sekali menyebar ke udang lain melalui proses saling makan (kanibalisme). Udang
yang sakit akan dimakan oleh udang yang sehat, sehingga udang yang sehat akan
tertular. WSSV juga dapat menular dari
satu tambak ke tambak lain melalui burung.
Udang yang sakit berenang di permukaan lalu dimakan oleh burung, dan
sisanya jatuh ke tambak lain (Yanto, 2006).
2.3.2
IMNV (Infectious
Myonecrosys Virus)
Myo (Infectious myonecrosis virus) yang termasuk kelas picornavirus pertama kali menyerang
udang di Brasil pada 2003. Di Indonesia,
myo muncul pertama kali di Situbondo yaitu pada tahun 2006. Setelah itu, myo mewabah di
pertambakan Banyuwangi, Lampung, kemudian menyebar ke Bengkulu, Sumatra Utara,
Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara. Saat
ini, myo hampir menyebar luas ke 2/3 wilayah Indonesia (Anonim, 2009).
Penyakit ini awalnya ditemukan pada udang yang berumur dua
bulan. Myo
juga menyerang udang muda umur 30 hari setelah penebaran. Udang yang terkena virus ini memiliki gejala
klinis yaitu munculnya warna plaque atau putih kapas pada bagian otot
yang terlihat dari samping maupun atas.
Semakin hari semakin jelas, yang selanjutnya terdapat warna kemerahan
pada bagian abdomen ruas kelima dan keenam, disertai kematian udang secara
bertahap (Yanto, 2006).
Menurut Yanto (2006), beberapa sebab
yang diduga sebagai pemicu munculnya kasus Myo antara lain menurunnya kualitas
air dari kondisi optimum, tingginya kandungan plankton dan senyawa
beracun. Selain itu juga disebabkan oleh
plankton yang terlalu pekat serta flok yang berlebih (blooming).
2.3.3
TSV (Taura Syndrome Virus)
TSV merupakan virus yang menyerang atau menginfeksi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah diintroduksi di
Indonesia. Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40
hari setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai
95%. Awalnya, penyakit TSV dikenal
sebagai penyakit udang juwana ukuran 0,05-5 g/ekor pada udang vanname (Widayanti, 2005).
Widayanti (2005)
menambahkan, apabila penyakit
terjadi pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk atau
genetik (vertikal), jika lebih dari
60 hari berarti infeksi berasal dari kondisi lingkungan (horizontal). Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun
tingkat mortalitasnya relatif rendah. Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase
akut dan kronis. Pada fase akut inilah
udang akan mengalami kematian massal.
Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami
fase kronis.
Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh
relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV
yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
Pada infeksi berat (acute)
sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematian didominasi
oleh udang yang sedang atau baru selesai proses pergantian kulit (moulting),
saluran pencernaan kosong dan warna tubuh kemerahan. Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada
ekor kipas (telson) (Widayanti, 2005).
Sedangkan, udang yang selamat dari fase akut,
umumnya akan mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di
bawah lapisan kutikula. Langkah utama
pengendalian penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke
dalam sistem budidaya. Masuknya patogen ini dapat berasal dari
induk, benur, air, carrier, pakan,
pelaku budidaya dan seluruh komponen produksi udang (Widayanti, 2005).
Surfianti dkk (2010) menyebutkan, media pembawa TSV (carrier dan vector)
yaitu udang vaname yang mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan
tumbuhan lain yang membawa TSV harus dimusnahkan. Peralatan dan personal yang dapat membawa dan
menyebarkan TSV harus dilakukan desinfeksi.
Tindakan yang lebih tepat lagi yaitu dengan menerapkan biosecurity,
sehingga kemungkinan besar udang terinfeksi virus akan berkurang bahkan tiada
sama sekali.
2.3.4
VNN (Viral nervous necrosis)
Viral Nervous Necrosis (VNN), adalah jenis virus Nodaviridae
yang menyerang ikan kerapu, terutama pada stadia larva dan benih. VNN dapat
menyebabkan kematian massal hingga mencapai prevelensi 100% (Johnny et al.,
2010; Suratmi dan Ni Luh, 2008).
Viral Nerveus Necrosis (VNN) adalah penyakit yang terdaftar oleh The
Office International des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama didalam
produksi perikanan laut didunia. Identifikasi virus penyebab VNN ini adalah
anggota family Nodaviridae diperoleh dengan menyelidiki asam nukleat dan
protein struktural dari larva virus Pseudocaranx dentex.
Keluarga Nodaviridae
terdapat dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus,
kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan. Betanodaviruses (family Nodarideae) adalah agen
penyebab serangan viral nerveus necrosis (VNN) pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak
punya kapsid dengan genome yang terdiri atas dua ikatan tunggal.
Nodaviruses adalah virus icosahedral yang tidak dibungkus dengan suatu genome
terdiri dari 2 RNAs13 ikatan tunggal. Piscine
nodaviruses (betanodaviruses) telah menunjukkan infeksi pada lebih dari 30
jenis ikan laut terutama pada masa larva dan juvennil, dan infeksi yang umumnya
mengakibatkan mortalitas yang tinggi (Yukio, 2007).
Serangan
VNN antar populasi pada budidaya ikan laut dapat terjadi dengan transmisi
secara vertikal atau secara horisontal. Di Korea, gejala serangan VNN pertama
kali dilaporkan menyerang budidaya ikan grouper (kerapu) (Epinephelus
septemfasciatus). Kematian massal pada ikan red drum (Sciaenops
ocellatus) yang dipelihara dip anti pembenihan berhubungan dengan
betanodavirus (Chi, 2006).
Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain
perilaku ikan terserang berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut
diatas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan
berkurang. Kematian (mortalitas) kumulatif mencapai 34% dan 56% selama 10
minggu. Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan
saraf yang berhubungan dengan vacuolisasi (kerusakan) kuat sistem nerves pusat
dan retina (R. Thie´ry,1, et all, 2006 dalam Bimami, 2009).
Tanda klinis ikan yang terserang VNN adalah hilangnya selera
makan, kelesuan, perilaku renang abnormal (gerakan memutar dan menabrak
kasar), pembesaran gelembung
renang pada beberapa jenis ikan, dan
pewarnaan gelap (Bimami, 2009).
2.3.5
KHV (Koi herpes virus)
Koi herpesvirus
(KHV) adalah virus yang menginfeksi ikan mas dan koi dan bersosiasi dengan
kematian massal (Hedrick et al. 2000). Virus ini pertama kali teridentifikasi
pada tahun 1998 sebagai penyebab kematian massal ikan koi baik stadia juvenil
maupun dewasa yang dibudidayakan di Israel, Amerika Serikat dan Jerman (Hedrick
et al. 1999; Bretzinger et al.1999). Penyebaran virus ini sudah mencapai
Eropa, Jepang, Indonesia, Afrika Selatan, Thailand, Taiwan, Cina dan Malaysia
(Haenen et al. 2004). Virus KHV masuk ke Indonesia pada tahun 2002
melalui perdagangan ikan lintas negara (Sunarto et al. 2005).
Penyakit akibat
virus yang sangat menular ini telah menyebabkan kerugian finansial pada
industri budidaya ikan mas dan koi (Hedrick 1996; Haenen et al. 2004). Sejak
terjangkit pertama kali di Blitar, Jawa Timur, penyakit ini telah menyebar ke
hampir semua daerah di Indonesia. Virus ini mengakibatkan kematian massal, yaitu
kematian mencapai 80-95 % populasi sehingga berdampak pada kerugian ekonomi dan
sosial. Kerugian secara materi akibat penyakit ini mencapai 15 milyar rupiah
dalam tiga bulan pertama sejak kejadian penyakit ditemukan, yaitu bulan Maret
sampai September 2002 (Sunarto, 2005).
Sepanjang tahun
2002 kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit akibat KHV ini mencapai 100 milyar
rupiah (Sunarto & Kusrini 2006). Kerugian total sampai tahun 2006
mencapai 250 milyar rupiah. Namun jumlah ini merupakan perhitungan berdasarkan
kasus yang berhasil diketahui maupun dari laporan masyarakat. Sejak saat itu
muncul siklus wabah KHV tahunan terutama terjadi setiap musim hujan.
Pada bulan
September 2004 terjadi wabah di Lubuk Linggau, Sumatra Selatan dan
mengakibatkan kematian sebanyak 150 ton, disusul kematian massal ikan yang
dipelihara di jaring apung di Danau Toba. Pada akhir Oktober 2004, penyakit ini
mengakibatkan kematian sedikitnya sembilan juta ekor ikan mas dalam 2.216 petak
karamba jaring apung di Sumatra Utara.
Kematian massal
ikan mas di Danau/Waduk Cirata berulang pada tahun 2004 setelah sebelumnya
pernah terjadi pada bulan Mei-juni tahun 2002. Kematian massal ikan mas dan koi
masih terjadi sampai saat ini terutama pada musim hujan, meskipun kematian yang
ditimbulkan tidak ekstrim seperti tahun-tahun sebelumnya (Sunarto & Kusrini
2006).
Untuk daerah
endemik seperti Cirata maka kematian massal terjadi sekitar 40-60% dan biasanya
terjadi pada pertengahan dan akhir tahun. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan
di kolam air deras lebih tinggi yaitu mencapai 70% dan terjadi sepanjang musim,
sedangkan di daerah yang jarang ada kasus atau baru pertama terjadi kasus maka
kematian bisa lebih tinggi dari 60%. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan di
keramba di Sungai Mahakam mencapai 70-80% (Sunarto et all. 2005). Meskipun muncul pertama kali pada tahun 2002, namun
belum ada langkah strategis yang dapat menanggulangi wabah penyakit ini.
2.3.6
Iridovirus
Iridovirus adalah virus
hewan yang menginfeksi invertebrata dan vertebrata poikilotermik, seperti ikan,
insekta, amfibi, dan reptil (Williams, 1996). Iridovirus merupakan virus
DNA untai ganda berbentuk simetri ikosahedral, tidak semuanya beramplop, dan mempunyai
diameter 120-300 (Tidona et al., 1998). Virion iridovirus terdiri dari
tiga domain konsentris yaitu protein capsid di bagian luar, membran
lipid yang mengandung subunit protein di bagian tengah, dan core yang
tersusun dari kompleks DNA-protein. Virus ini memiliki 25-75 protein struktural
dengan kisaran berat molekul 12.000-150.000 kDa. Secara umum protein capsid iridovirus
berukuran sekitar 50 kDa dan merupakan komponen struktural utama yang jumlahnya
mencapai 45% dari protein virion total. Ukuran genom iridovirus bervariasi
antara 105-212 kbp).
Iridovirus mempunyai
strategi replikasi yang melibatkan stadium nuklear dan sitoplasmik,
menghasilkan genom komplit dengan duplikasi beberapa gen di ujungnya (terminal
redundancy) dan ujung tersebut berbeda diantara partikel virus yang
dihasilkan (cyclic permutation). Gen penyandi protein capsid dari
beberapa iridovirus vertebrata dan invertebrata telah disekuensing dan coding
region nya mempunyai banyak kemiripan.
Ikan yang terinfeksi
iridovirus nampak lemah, nafsu makan menurun, mengalami anemia yang berat,
bercak merah (ptechiae) pada insang, pembengkakan limpa, dan ginjal. Menurut
Tidona et al. (1998), kerapu malabar yang terinfeksi iridovirus menunjukkan
gejala warna insang dan tubuh pucat, hilangnya keseimbangan sehingga ikan diam
di dasar jaring apung dan biasanya akan mati dalam waktu satu hari setelah
gejala muncul.
2.4
Postulat
River
Postulat
River merupakan suatu diagnose yang digunakan untuk mengetahui virus yang
menyerang suatu organisme. Postulat ini pertama kali ditemukan oleh River.
Penemuan postulat River diawali adanya penemuan filtrat bebas bakteri oleh
Iwanowsky. Iwanowsky menemukan bahwa filtrat bebas bakteri (cairan yang telah
disaring dengan saringan bakteri) dari ekstrak tanaman tembakau yang
terkena penyakit mozaik, ternyata masih tetap dapat menimbulkan infeksi pada
tanaman tembakau yang sehat. Dari kenyataan ini kemudian diketahui adanya jasad
hidup yang mempunyai ukuran jauh lebih kecil dari bakteri (submikroskopik)
karena dapat melalui saringan bakteri, yaitu dikenal sebagai virus (Anonim,
2011).
Dalam
Postulat River berbunyi bahwa agen virus harus ditemukan dalam cairan tubuh
sewaktu sakit atau dari sel yang menunjukkan lesio spesifik, diperoleh dari
hewan terinfeksi dapat menginfeksi hewan percobaan dalam bentuk antibodi
terhadap virus tertentu, dan yang diisolasi dari hewan percobaan harus dapat
ditularkan ke hewan peka lainnya (Anonim, 2011).
Untuk
membuktikan penyakit yang disebabkan oleh virus, dapat digunakan postulat River
(1937), yaitu:
a. Virus
harus berada di dalam sel inang.
b. Filtrat
bahan yang terinfeksi tidak mengandung bakteri atau mikroba lain yang dapat
ditumbuhkan di dalam media buatan.
c. Filtrat
dapat menimbulkan penyakit pada jasad yang peka.
d. Filtrat
yang sama yang berasal dari hospes peka tersebut harus dapat menimbulkan kembali
penyakit yang sama.
III.
METODOLOGI
3.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum penyakit
ikan yang disebabkan oleh virus dilaksanakan pada hari Kamis 11 April 2013
pukul 13.00 WIB s/d selesai di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
3.2
Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan
untuk praktikum ini, yaitu akuarium, alat bedah, mortar, filter miliphore 0,45
µm, larutan PBS, mikropipet, alat centrifuge, tabung falcon, timbangan, spuit,
ikan koki, tip, dan tabung ependorf.
3.3
Cara
Kerja
Pada praktikum ini
menggunakan metode Postulat River. Prosedur kerja praktikum ini adalah sebagai
berikut:
a. Siapkan
sampel ikan / udang yang sakit.
b. Catat
gejala klinis baik eksternal maupun internal.
c. Sampel
dihomogenasi dengan mortar dengan ditambah larutan buffer (PBS) 1:2 (m/v).
d. Homogenat
dimasukkan ke dalam tabung falcon 15 ml dan disentrifus pada kecepatan 3500 rpm
selama 20 menit.
e. Supernatan
diambil dan difilter dengan filter milipore 0,2 um.
f. Filtrat
disuntikkan secara intramuscular (i.m) kepada ikan sehat (0,1 ml/ikan).
g. Ikan
dipelihara selama maksimal satu minggu.
h. Setiap
hari ikan diamati gejala klinis yang muncul dan jumlah kematian jika ada.
i. Bandingkan
gejala klinis ikan sampel dengan ikan yang diinfeksi, tulis persamaan dan
perbedaannya.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Untuk melihat
apakah filtrat yang telah diinjeksikan pada ikan merupakan virus penyebab
penyakit (pathogen), maka dilakukan
pengamatan terhadap ikan percobaan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai
berikut :
Tabel 1. Gejala yang Ditimbulkan
Setelah Diinjeksi dengan Bakteri
Hari ke-
|
Pukul (WIB)
|
Gejala
|
1
|
17.00
|
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan berenang dengan aktif
|
09.00
|
Ikan memiliki nafsu makan
|
|
13.00
|
Ikan mengeluarkan feses dan ikan berenang didasar
|
|
2
|
17.00
|
Ikan berenang aktif dan memiliki nafsu makan
|
09.00
|
Ikan mengeluarkan feses dan memiliki nafsu makan
|
|
13.00
|
Nafsu makan berkurang, ikan mengeluarkan feses dan dua ekor ikan
berenang didasar
|
|
3
|
17.00
|
Ikan berenang dengan aktif dan nafsu makan berkurang
|
09.00
|
Ikan merespon kejutan dan memiliki nafsu makan
|
|
13.00
|
Satu ekor ikan aktif berenang dan empat ekor lainnya berenang didasar
|
|
4
|
17.00
|
Ikan mengeluarkan feses dan memiliki nafsu makan
|
09.00
|
Ikan memiliki nafsu makan dan berenang dengan aktif
|
|
13.00
|
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan saling bekejar-kejaran
|
|
5
|
17.00
|
Ikan berenang dengan aktif dan memiliki nafsu makan
|
09.00
|
Nafsu makan ikan meningkat dan ikan berenang aktif
|
|
13.00
|
Dua ekor ikan berenang ke arah aerator, tiga ekor lainnya berenang di
dasar
|
|
6
|
17.00
|
Ikan mengeluarkan feses dan tiga ekor ikan berenang di dasar
|
09.00
|
Ikan mengeluarkan feses dan nafsu makan berkurang
|
|
13.00
|
Ikan memiliki nafsu makan dan ikan berenang denga aktif
|
|
7
|
17.00
|
Semua ikan berenang aktif
|
09.00
|
Ikan meiliki nafsu makan dan berenang dengan aktif
|
|
13.00
|
Ikan berenang dengan aktif dan beberapa mengeluarkan feses
|
4.2 Pembahasan
Dari hasil
pengamatan terhadap ikan yang diujikan, ikan terbukti tidak mengalami sakit
akibat infeksi virus.Hasilnya, pendarahan pada ikan hilang dan gerakan ikan semakin aktif. Dari lima ekor ikan yang ditreatmen, satu diantaranya mati akibat lemah oleh perlakuan yang ekstrim. Diduga, ikan sampel yang sakit akibat infeksi pathogen lain, dan ikan uji sakit akibat infeksi oleh cara penyuntikan ikan yang salah, sehingga menimbulkan infeksi yang memudahkan bakteri serta parasit lain menyerang ikan.
Prosedur praktikum telah disesuaikan dengan metode uji postulat river, namun pada pelaksanaannya terjadi beberapa hal yang diduga menyebabkan kegagalan. Kegagalan terbesar memang disebabkan oleh kesalahan manusia. Selain itu, ada kendala lain ketika menyaring filtrat dan filtrat lama untuk keluar, sehingga dilakukan pendorongan dengan memanfaatkan udara dari spuit. Akan tetapi, alternatif ini jelas tidak dibenarkan, karena dikhawatirkan akan meloloskan organisme lain selain virus, seperti bakteri misalnya.
Ikan yang
digunakan dalam praktikum ini adalah ikan koki yang diduga sakit akibat infeksi
virus. Ikan koki yang dipilih memiliki
gejala klinis seperti berenang terbalik, lemah dan nafsu makan yang menurun.
Namun pada tubuh ikan koki tidak dijumpai adanya pendarahan atau pun pembengkakan,
dan tidak menutup kemungkinan terjadi pendarahan pada organ-organ dalamnya.
Ikan koki
termasuk dalam keluarga ciprinidae,
dimana ikan jenis ini rentan sekali terserang penyakit. Adapun penyakit akibat virus yang sering
menyerang ikan jenis ini aalah koi herpes
virus (KHV). Virus jenis ini pertama
kali diketahui menyerang ikan mas, namun seiring menurunnya kualitas
lingkungan, virus ini menyebar ke ikan-ikan lain termasuk ikan koki.
Untuk memastikan
bahwa ikan koki tersebut benar-benar terserang virus, maka dilakukan uji,
dengan mengambil beberapa organ pada ikan koki, lalu diambil filtratnya. Filtrat diperoeh dari hasil organ yang
dihaluskan dan disentrifuse, cairan yang berada di bagian atas merupakan
filtrat dan yang mengendap merupakan pellet. Setelah itu filtrat disaring
menggunakan saringan miliphore ukuran 0,45 µm. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan virus, karena virus berukuran kecil, lebih kecil dari bakteri
yang ukurannya lebih dari 0,45 µm,
sehingga bakteri tidak mungkin untuk dapat lolos.
Adapun
organ-organ yang diambil dari ikan sampel adalah mata, ginjal, dan daging.
Beberapa organ yang diambil merupakan organ target serangan virus.
Adapun gejala yang timbul setelah dilakukan penyuntikan
adalah ikan menjadi lemah, terjadi pendarahan pada bagian dorsal,
abdomen/perut, operculum dan sirip. Namun pada insangnya terlihat masih normal,
padahal apabila ikan terserang KHV, pada insangnya biasanya terdapat borok. Setelah masa pengujian selesai, ikan kami
coba treatmen dengan panambahan garam serta perendaman dengan methlyne blue.
V.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pengamatan dan pembahasan melalui studi literatur, maka dapat di simpulkan
bahwa :
a. Gejala
yang ditimbulkan pada ikan uji tidak menunjukkan ikan sakit akibat virus,
melankan akibat infeksi organisme pathogen lain
b. Infeksi
mikroorganisme lain diduga diakibatkan cara penyuntikan yang salah dan masuknya
organisme pathogen lain ke dalam filtrat.
5.2 Saran
Adapun saran
yang dapat kami berikan setelah pelaksanaan praktikum adalah sebagai berikut :
a. Untuk
menghindari kegagalan akibat masuknya organisme lain, diperlukan kesabaran
ketika menunggu keluarnya filtrat dari saringan
b. Cara
penyuntikan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak terjadi keslahan
dalam mengidentifikasi akibat infeksi oleh mikroorganisme lain.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan
E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Anonim, 2009.
Diagnosis Penyakit Viral. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Anonim. 2011. Postulat River.
http://zaedkfc.blogspot.com/2011/11/postulat-river.html.
diakses pada tanggal 24 April 2013 pukul 20.06 WIB.
Bimami, Elfahry. 2009. Viral Necrosis Nerveus (VNN) Penyebab Kematian Massal Benih Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). http://elfahrybima.blogspot.com/2009/01/viral-necrosis-nerveus-vnn.html. diakses pada tanggal 19
April 2013 pukul 09.26 WIB.
Bretzinger, A., Fischer-Scherl, T., Oumouna, M., Hoffmann, R., Truyen,
U., 1999. Mass mortalities in koi carp, Cyprinus carpio, associated with gill
and skin disease. Bull. Eur. Assoc. Fish. Pathol. 19, 182-185.
Chi, S.C, 2006, Piscine Nodavirus Infection in Asia. Department
of Life Science and Institute of Zoology. National Taiwan University.
Haenen OLM, Way K, Bergmann SM, Ariel E. 2004. The emergence of koi herpesvirus and its significance to European
aquaculture. Bull. Eur. Ass. Fish Pathol., 24(6): 293-307.
Hedrick RP, Gilad O, Yun S, Spangenberg JV, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus
MJ, Bercovier H, Eldar A. 2000. A
herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain
of common carp. Journal of Aquatic Animal Health, 12:44-57.
Hedrick RP, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus M, Bercovier H, Eldar A. 1999.
A herpesvirus associated with mass
mortality of juvenile and adult koi, Cyprinus
carpio. Fish Health Newsletter. Fish Health Section. American
Fisheries Society 27:7.
Iskandar dan M. Stitanggang. 2003. Memilih
dan Merawat Maskoki Impor Berkualitas. Agromedia. Jakarta.
Johny, Fris et al,. 2010. Aplikasi
Imunostimulan Untuk Meningkatkan Imunitas non-Spesifik Ikan Kerapu Macan,
Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Penyakit Infeksi Di Hatcheri. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi. Balai riset Perikanan Budidaya Laut Gondol.
Nuryati, S., Alimuddin, Sukenda, Soejoedono, R.A., Santika, A., Pasaribu,
F.H.., Sumantadinata, K., 2010. Con-struction
of a DNA vaccine using glycoprotein gene and its expression towards increasing
survival rate of KHV-infected common carp (Cyprinus carpio). Jurnal Natur Riau 13 (1), 47–52.
Pelczar, M,j. dan E,C,S, Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi II. Alih bahasa: R,S, Hadioetomo, T,
Imas, S.S, Tjitrosomo dan S. L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Perkasa, B. Eka dan Hisomudin. 2005. Permasaalahan
Maskoki dan Solusinya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunarto, A., Kusrini, E., 2006. Kasus
kematian massal ikan mas di keramba jarring apung danau Toba, Sumatra Utara.
Media Akuakultur 1 (1).
Sunarto, A., Rukyani, A., Itami, I., 2005. Indonesian experience on the outbreak of koi herpesvirus in koi and
carp (Cyprinus carpio).
Bulletin of Fisheries Research Agency, Yokohama, Japan. 86:15-21.
Suratmi, Sri Dan Ni Luh Tati Aryani. 2008. Kasus Infeksi Penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) Pada Ikan Kerapu Di
Pulau Bali. Buletin Teknik Literatur Akuakultur. Vol.7. (1).
Surfianti, N.C. Prihartini, M. Fathoni, E.R. Ekoputn, Laminem, R.Wilis,
E. Pujiastuti , Sokhib dan A.D. Koswara. 2010. Deteksi Penyakit TSV (Taura Syndrome Virus) secara PCR pada Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Berbagai Ekstraksi, Suhu dan Waktu
Penyimpanan. Balai Karantina Ikan Kelas I Juanda. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Surabaya.
Tidona, C. A.,
Schnitzler, P., Kehm, R. & Darai, G. 1998.
Is the major capsid protein of iridoviruses a suitable target for the study
of viral evolution? Virus Genes 16, 59-66.
Widayanti. 2005. Deteksi Penyakit
Taura Syndrome Virus Pada Udang Putih (Penaeus vannamei) dengan Metode Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction. Perikanan. Vol. VII/I, pp. 40- 46.
Williams, T. 1996. The Iridoviruses. Advances in Virus Research 46, 345–412.
Yanto, Hendri. 2006. Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang
Asal Tambak Udang Intensif dan Panti Benih di Kalimantan Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Muhamaddiyah Pontianak.
Kalimantan Barat.
Yukio, M., Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).
Yukio, M., Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).